Mitos Reputasi UNS

Artikel: Dimuat di Solopos Edisi 11 Maret 2008

Hari ini, tepat 32 tahun Universitas Sebelas Maret (UNS) berdiri. Tidak ada yang istimewa dalam peringatan kali ini, sama seperti peringatan tahun-tahun sebelumnya. Lepas dari berbagai kritik menuju badan hukum milik negara (BHMN), UNS semakin berkembang dan terus melakukan perbaikan pada banyak hal.

Tahun ini, UNS juga sudah bertekad menuju universitas berkelas internasional (world class university) meski slogan tersebut bukan monopoli UNS, karena beberapa perguruan tinggi lain juga telah mencanangkan visi yang sama. Kita semua tentu berharap mimpi itu akan segera terwujud, meski tidak semudah membalik telapak tangan. Pertanyaannya apakah UNS siap berpacu dalam iklim kompetisi yang kian ketat itu.


Beberapa tahun terakhir, secara rutin lembaga semacam Times Higher Educations Supplement (THES), Academic Ranking of World University (ARWU) serta Webometrics merilis peringkat perguruan tinggi dunia. Dalam peringkat itu baru beberapa perguruan tinggi Indonesia yang berhasil masuk 500 besar. Tahun 2007, THES menempatkan UGM ke peringkat 360, ITB ke-369, dan UI ke-395.
Kriteria THES berdasarkan empat faktor yaitu kualitas riset, terserapnya lulusan ke dunia kerja, prestasi internasional, serta kualitas pengajaran. Kriteria THES ini adalah kriteria menurut para pakar pendidikan.
Ada juga kriteria kualitas perguruan tinggi berdasarkan persepsi konsumen, yang dibuat oleh Majalah Tempo, beberapa waktu lalu. Hasil survei itu menyebut faktor penentu dalam pemilihan perguruan tinggi oleh masyarakat Indonesia antara lain: lulusan mudah dapat kerja, nama besar perguruan tinggi, kualitas pengajar dan fasilitas fisik.
Meski berbeda metodologi, ternyata terdapat beberapa kesamaan dalam kriteria yang muncul dari dua lembaga survei tersebut. Intinya dari peringkat ini akan terlihat reputasi sebuah PT. Lalu di mana posisi UNS dalam survei-survei ini? Tampaknya memang UNS masih harus bersabar karena saat ini UNS masih setingkat di bawah universitas papan atas semacam UI, ITB, UGM, IPB, ITS, Unair, bahkan juga Undip. PT tersebut memang secara usia jauh lebih tua dari UNS sehingga mereka memiliki keunggulan dalam berbagai hal. Mereka sudah masuk dalam 500 universitas dunia versi THES maupun Webometrics sementara UNS belum. Bahkan dalam survei Majalah Tempo nama UNS juga belum masuk. Prestasi UNS baru masuk pada 50 besar yang dikeluarkan Dirjen Dikti.
Survei-survei semacam ini sah-sah saja untuk memotivasi diri. Namun tak jarang survei seperti ini semakin melanggengkan mitos reputasi yang telah berkembang di masyarakat, sehingga sedikit banyak merugikan PT yang sedang berkembang seperti UNS.
Mitos reputasi adalah anggapan bahwa sebuah perguruan tinggi yang sudah punya nama besar pasti unggul dalam segala hal dibandingkan PT lain. Padahal masing-masing PT memiliki keunikan dan keunggulan yang tercermin pada fakultas atau jurusannya. Namun karena mitos reputasi berlaku untuk tingkat universitas, hal ini membuat PT lain tetap pada posisi kelas dua.
Menyimak hasil survei di atas, mungkin saja membuat kita pesimistis. Apa mungkin UNS menyalip atau minimal menyamai PT tersebut? Apa bisa UNS berkelas internasional? Tampaknya bukan hal mustahil, meski memang tidak mudah. Yang paling berat adalah melawan mitos reputasi itu sendiri. Menurut Gotsi & Wilson (2002:29), reputasi adalah penilaian menyeluruh stakeholders pada lembaga dalam waktu yang cukup lama. Penilaian ini berdasarkan pengalaman langsung stakeholders dengan lembaga maupun melalui berbagai bentuk komunikasi dan simbol yang memberikan informasi tentang aksi lembaga dan atau membandingkan dengan aksi kompetitor.
Stakeholders yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dengan maju mundurnya lembaga. Bagi sebuah universitas, stakeholders itu bisa mencakup stakeholders internal yaitu manajemen, dosen, karyawan serta keluarganya. Sedangkan stakeholders eksternal mencakup konsumen (mahasiswa dan calon mahasiswa), pengguna lulusan, pemerintah, pesaing, komunitas serta media.
Reputasi adalah akumulasi apa yang ada di benak stakeholders. Perguruan tinggi yang sudah besar-besar tersebut diuntungkan oleh reputasi yang berkembang menjadi mitos pada stakeholders. Mitos seperti ini bisa disebabkan oleh latar belakang sosial budaya, pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut atau berita yang berkembang. Karena selama ini informasi yang kita terima UGM atau Undip selalu lebih baik dari UNS, maka stakeholders yang lain juga meyakini hal sama. Ironisnya, stakeholders internal pun juga termakan mitos ini. Padahal sesungguhnya ada sisi-sisi di mana UNS punya potensi dan keunggulan dibanding UGM ataupun Undip.
Penulis yakin, saat ini, perbedaan kualitas antara beberapa universitas tidak terlalu jauh berbeda. Namun karena reputasi atau nama besar yang telanjur menjadi mitos, hal ini sering membuat penilaian tidak proporsional dan merugikan universitas seperti UNS.


Peran media
Salah satu pembuat mitos yang efektif di masyarakat adalah media massa. Liputan media massa (media coverage) adalah indikator yang sering dipakai untuk memantau reputasi lembaga. Liputan media tentang prestasi universitas akan menjadi sangat berharga untuk membentuk image pada stakeholders-nya. Sayangnya, selama ini liputan tentang UNS masih terbatas oleh media lokal. Padahal untuk bisa dikenal di lingkup nasional, paling tidak nama UNS harus sering disebut oleh media nasional. Di sini selain keaktifan Humas universitas, sebenarnya ada mitos yang turut dilanggengkan oleh media massa. Hal ini terlihat dari upaya media yang selalu memunculkan tokoh akademis dari universitas mainstream dan kurang memberikan kesempatan pada akademisi PT lokal. Universitas mainstream juga dianggap memiliki nilai berita yang lebih tinggi dibanding universitas seperti UNS.
Alumnus UNS yang kini wartawan di Jakarta pernah mengeluh ketika ditugasi mencari penulis kolom untuk sebuah topik di korannya. Dia tidak pede dan bingung ketika harus mencari dosen yang bagus dalam menulis kolom. Bila alumni saja tak percaya diri dengan UNS, lalu bagaimana kita akan meyakinkan stakeholders lainnya? Padahal kita tahu pada universitas besar, jejaring alumni sangat kuat sehingga mempengaruhi daya tawar lulusan di pasar kerja.

Demikianlah ujian pertama untuk bisa sejajar dengan universitas-universitas yang selama ini kita anggap memiliki reputasi tinggi adalah dengan merobohkan mitos reputasi tersebut yang boleh jadi membelenggu kita. Hal itu perlu diikuti dengan strategi terencana dan berkelanjutan. Mengikuti saran seorang pakar reputasi, UNS harus memberikan pengalaman (experiences) terbaik dan mengomunikasikannya kepada seluruh stakeholders, terlebih lagi kepada media massa. – Andre Rahmanto, Dosen FKIP UNS, Pengurus BPC Perhumas Solo