TV, FILM & CITRA UMAT ISLAM

— sebuah kebohongan yang diulang-ulang

akan tampak seperti kebenaran,

sebaliknya kebenaran yang baru pertama kali didengar

akan tampak seperti kebohongan —

Seiring kembali produktifnya perfilman Indonesia beberapa tahun terakhir ini, bertambah deras pula kritik yang muncul dari pelbagai elemen masyarakat menyoroti kualitasnya. Hal ini dikarenakan meningkatnya frekwensi film tidak diimbangi dengan mutu film yang dihasilkan. Bahkan belakangan cenderung menampilkan pornografi dan merusak moral umat. Kasus pencekalan film Buruan Cium Gue dan kemudian disusul kontroversi Virgin membuktikan bahwa kebebasan berkreasi disalahartikan dengan kebebasan tanpa batas oleh para produsen film yang hanya berorientasi dagang.

Meski ada juga film-film yang dinilai cukup bagus, namun dalam konteks kepentingan dakwah umat justru kontradiktif. Misalnya, film Arisan! yang menjuarai Festival Film Indonesia 2004 ini justru mengangkat cerita soal jahiliahnya pergaulan wanita kalangan menengah atas di Jakarta serta melegitimasi eksistensi kaum Gay. Atau film Ada Apa Dengan Cinta, film yang mengangkat nama Dian Sastro dan sangat digandrungi remaja ini meski tidak ada unsur pornografi, secara intensif memberikan kuliah “pacaran” yang kita tolak bersama.

Demikian halnya dengan tayangan televisi, meski kritik tak pernah sepi, pengelola tetap keras kepala menampilkan sinetron yang berbau klenik, kekerasan serta mengumbar birahi. Tak heran bila kemudian banyak orang secara ekstrem memilih putus hubungan dengan kotak ajaib ini, demi menjaga kesehatan moral keluarga. Karena diyakini, tayangan film / televisi akan berdampak buruk pada perilaku kita – anak cucu kita–.

Namun demikian, sikap defensif ini menurut saya justru merugikan kita. Barangkali kita dapat menghindari efek negatif, namun kita juga kehilangan kesempatan mengambil manfaat darinya. Kebencian kita pada content, seharusnya tidak lantas membuat kita phobia pada media yang notabene hanya alat, yang baik buruknya tergantung siapa yang mengoperasikannya.

Seburuk apapun kondisi film dan televisi kita dewasa ini, kita tetap memerlukannya sebagai media/alat, yang bila kita dapat justru akan menjadi aset dakwah yang berpengaruh untuk umat. Jadi yang strategis justru bagaimana agar umat Islam memiliki akses pada dunia film & televisi yang punya efek dahsyat ini.

Sungguh aneh bila kita menginginkan adanya program televisi/ film yang memiliki visi dakwah, membangun akhlak serta meningkatkan keimananan, namun kita tidak pernah mencoba memasuki wilayah tersebut. Wajar saja bila film kita amoral karena memang orang-orang yang demikianlah, yang aktif dan menguasai di dunia tersebut.

Selain itu, Film dan Televisi adalah juga pembentuk citra yang yang sangat kuat sehingga akan menuntun opini bahkan mengarahkan perilaku publik. Padahal apa yang tampil di film & televisi adalah realitas yang sudah diolah, fiksi yang dikemas layaknya fakta. Apa yang boleh & tidak boleh tampil juga tidak lepas dari agenda setting & kepentingan pengelola/pemilik. Padahal lewat TV/Film -lah bangsa/umat lain menilai kita.

***

Rebut Media!

Di era globalisasi dan liberalisasi seperti sekarang ini, tak ada jalan lain kecuali terus bersaing dengan pengaruh barat, karena tesis Huntington tentang Clash of Civilization tampaknya sudah terbukti. Kita mesti merebutnya bila ingin media ini bermanfaat untuk umat. Singkat kata, harus ada diantara diantara kita yang mengusung dakwah melalui jalan ini. Semakin banyak semakin besar pula menentukan arah pertelevisian dan perfilman Indonesia.

Dalam konteks mikro, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah melatih dan memberikan kesempatan generasi muda kita mengakrabi dunia teknologi—media khususnya sejak dini. Khusus soal film ini, misalnya dapat diberikan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah & pesantren. Semacam unit kegiatan Kineklub di kampus yang secara intens melakukan kegiatan produksi dan apresiasi perfilman.

Dan jangan lupa, TV & Film bukan semata soal teknologi, tapi juga soal produk kebudayaan. Konkretnya, bila problem pokok kita adalah soal content, maka harus juga dikenalkan bagaimana misalnya menulis naskah film/sinetron bermuatan nilai-nilai dakwah Islam. Sebenarnya disisi ini kita juga sudah memiliki asset cukup potensial dengan kejayaan sastra islami di tanah air dengan ikonnya Forum Lingkar Pena. Hanya saja untuk mengangkatnya di layar film/Tv kendalanya adalah persoalan komersil.

Karena itu untuk menampilkan film Islam kita mutlak membutuhkan sponsor. Tidak kalah pentingnya adalah secara makro harus ada perhatian dari lembaga atau ormas Islam yang lebih besar terhadap soal ini. Sehingga suatu saat misalnya akan bermunculan stasiun TV dan rumah produksi Islam. Sungguh Ironis bila disini bermukim umat Islam terbanyak, namun justru tak ada yang tergerak untuk mendirikan stasiun TV Islam.

Memang, bila kita menggunakan kacamata ekonomi politik penyiaran, proyek ini akan sulit mencetak laba seperti halnya TV/rumah produksi yang ada sekarang. Seperti kita ketahui, meski disini secara statistik jumlah penduduk Islam terbesar, namun kebanyakan justru alergi dengan sesuatu yang dilekati simbol Islam. Alasannya macam-macam, takut dicap sektarian, fundamental- lah , radikal-lah dan sebagainya yang pada gilirannya membuat umat tak jelas identitas. Buktinya partai Islam tak pernah menang. Capres yang nyantri juga sulit bakal menang.

Namun bagaimanapun, sebagai salah satu proyek dakwah, pendirian TV atau rumah produksi film Islam seperti ini mestilah dicarikan pendanaannya. Ringkasnya, mesti omzet iklannya kecil, Rating tayangan juga tidak tinggi , lembaga seperti ini akan tetap hidup. Bila ribuan umat Islam antri tiap tahun untuk haji 2-3 kali, bila ormas NU-Muhammadiyah bisa menghidupi banyak lembaga pendidikan, kesehatan, perbankan, kenapa lembaga penyiaran/perfilman tidak?

*Andre Rahmanto, Desember 2004