CITY BRANDING SEBAGAI KEBIJAKAN KOMUNIKASI

 

CITY BRANDING SEBAGAI KEBIJAKAN KOMUNIKASI

(LESSON LEARNED KEBIJAKAN CITY BRANDING

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA)* 

Andre Rahmanto

Pascasarjana Manajemen Komunikasi

Universitas Sebelas Maret

 

ABSTRAK

Permasalahan utama yang dihadapi banyak kabupaten/kota dalam otonomi daerah saat ini adalah bagaimana meningkatkan daya saing daerah sehingga potensi yang dimilikinya dapat tergarap dengan maksimal. Daya saing yang rendah antara lain disebabkan kurangnya pengetahuan (awareness) investor maupun wisatawan terhadap potensi daerah tersebut. Oleh karena itu kemudian banyak daerah berupaya meningkatkan daya saing dengan melakukan branding. Sejak tahun 2008, pemerintah kota Surakarta (Solo) telah meluncurkan brand Solo The Spirit of Java yang diikuti berbagai perubahan dan serangkaian aktivitas di kota Solo. Dengan dukungan sejumlah peraturan serta alokasi anggaran, city branding dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan komunikasi pemerintah daerah untuk memperkenalkan dan memasarkan daerahnya. Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus (Yin, 2011). Wawancara mendalam, focus group discussion, observasi serta analisis dokumen digunakan untuk memperoleh informasi mendalam dan holistik.  Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan model analisis interaktif (Miles & Huberman, 1992). Secara umum bagaimana kebijakan komunikasi dilakukan oleh pemerintah melalui branding dapat dijelaskan dalam tiga bagian yaitu formulasi; implementasi serta evaluasi kebijakan city branding. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan branding kota Solo secara eksplisit telah diprogramkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan didukung oleh Peraturan Walikota, namun tidak adanya perencanaan (strategic brand planning) serta masih lemahnya koordinasi antara pemerintah dengan pelaku lainnya membuat kebijakan city branding kota Solo mengalami inkonsistensi.

Keywords: Kebijakan Komunikasi, City Branding, Komunikasi Pemerintah,  Solo the Spirit of Java

 

Permasalahan utama yang dihadapi banyak kabupaten/kota dalam otonomi daerah saat ini adalah bagaimana meningkatkan daya saing sehingga potensi yang dimilikinya dapat tergarap secara maksimal. Daya saing yang rendah antara lain disebabkan kurangnya pengetahuan (awareness) investor maupun wisatawan terhadap potensi daerah tersebut. Oleh karena itu upaya branding dianggap sebagai pilihan yang tepat. Kertajaya (2005) bahkan menyebut, saat ini city branding merupakan hal yang wajib dilakukan setiap kota yang ingin mengangkat derajatnya.

Branding yang banyak dikenal untuk produk barang dan jasa kini mulai banyak dipakai untuk memasarkan sebuah wilayah baik level daerah maupun negara. Di Indonesia beberapa daerah telah mencoba meluncurkan branding. Misalnya Surabaya dengan Sparkling Surabaya, Jogja Never Ending Asia, Semarang The Beauty of Asia serta Solo dengan The Spirit of Java. Sejak tahun 2008, Kota Solo bersama beberapa kabupaten di sekitarnya yang tergabung dalam Badan Koordinasi Antar Daerah (BKAD) eks-karesidenan Surakarta telah melaunching brand bertajuk Solo The Spirit of Java, dengan logo dan tagline seperti dalam gambar berikut:

 solo

         

 Gambar 1. Logo Brand Kota Solo

 

Kebijakan branding ini tidak sekedar membuat logo atau slogan tetapi kemudian juga diikuti dengan berbagai perubahan dan serangkaian aktivitas Kota Solo. Kota Solo ingin membangun citra positif kepada publik nasional maupun internasional sebagai kota yang mampu bersaing dan memiliki potensi, khususnya sebagai kota budaya dan pariwisata.

City branding seperti dikatakan Kavaritzis (2004:67-69) dapat dilihat sebagai bentuk komunikasi citra (image communication) yang melibatkan tiga aspek komunikasi yaitu: pertama, komunikasi primer merupakan semua tampilan kota seperti strategi landscape, infrastruktur, birokrasi serta semua perilaku atau tindakan menyangkut kota tersebut. Dalam pelaksanaannya branding melibatkan keterkaitan berbagai pihak untuk sampai pada citra yang hendak dibangun oleh sebuah kota; kedua, komunikasi sekunder merupakan komunikasi formal, intensif yang biasa dikenal dalam praktek pemasaran seperti periklanan, kehumasan, desain grafis dan sebagainya; serta ketiga, komunikasi tersier berkaitan dengan word of mouth, yang diperkuat oleh media dan komunikasi kompetitor, yang tidak bisa dikontrol oleh pemasar. Keseluruhan proses branding dan dua tipe komunikasi yang terkontrol bertujuan untuk menimbulkan dan memperkuat komunikasi tersier yang positif, khususnya pada warga kota yang pada saat bersamaan merupakan khalayak sasaran sekaligus pemasar kota yang paling penting.

Branding yang dilakukan sebuah kota merupakan sebuah strategic communication yang kompleks. Untuk melahirkan brand yang kuat dan berkarakter diperlukan berbagai kajian dan analisis yang mendalam sehingga mampu mengkomunikasikan identitas serta keunggulan-keunggulan komparatif suatu kabupaten/kota. Keputusan sebuah daerah untuk melakukan city branding dapat dilihat sebagai bentuk kebijakan komunikasi sekaligus kebijakan publik oleh pemerintah daerah. Terdapat banyak pendekatan dalam membangun rencana komunikasi yang lebih spesifik. Walau tidak ada pendekatan tunggal, tetapi esensi perencanaan menurut elemen-elemen tertentu haruslah ada, salah satunya menurut Prisgunanto (2002) adalah tahapan komunikasi dengan menggunakan model SOSTAC (Situation Analysis, Objective, Strategy, Tactic, Action, Control).

 

BRANDING & KOMUNIKASI PEMERINTAH

Dwidjowijoto (2004:72) mengatakan pemerintah selain melakukan komunikasi internal di dalam organisasi birokrasinya juga melakukan komunikasi eksternal, yakni komunikasi kepada lingkungannya. Pemimpin pemerintahan mempunyai tugas untuk mengkomunikasikan visi, misi dan strategi organisasi untuk memperoleh kesamaan makna dengan publik sekaligus mengubah persepsi publik agar mendukungnya. Pemerintah saat ini tidak cukup hanya dengan pola ‘melayani’ tetapi juga dituntut mampu mengkreasikan nilai bagi masyarakat dimana ia berada. Di era globalisasi peran pemerintah atau institusi negara justru semakin penting sebagaimana gagasan Micahel Porter dalam The Competitive Advantage of Nation maupun Philip Kotler dalam Marketing the Nations. Peran pemerintah semakin penting dalam membangun daya saing global dari setiap negara (wilayahnya).

Sejalan dengan pendapat tersebut Kertajaya (2005:4) mengatakan bahwa saat ini pemerintah daerah harus bermetamorfosis dari pemerintah daerah yang  “cuek-bebal” menjadi pemerintah daerah yang berorientasi pelanggan (customer-driven government) dan bertanggung jawab (accountable government) terhadap seluruh pemangku kepentingan secara seimbang. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan ekonomi daerah maka pemerintah daerah juga harus bergeser dari pendekatan birokratis ke pendekatan strategic entrepreneurial. Pendekatan ini menuntut tiga elemen dasar dalam perencanaan daerah yaitu adanya penetapan visi dan tujuan jangka panjang daerah, upaya membangun budaya entrepreneurial pada sumber daya manusia daerah serta perumusan strategi daerah yang solid. Strategi daerah inilah yang disebut Kertajaya dengan Strategic Place Triangle meliputi penetapan Positioning, pengembangan Diferensiasi serta upaya membangun merek (brand) daerah.

Tidak terelakkan, branding saat ini semakin diperlukan dalam mengelola pemerintahan sebagai manajemen persepsi, seperti diungkapkan Eshuis & Klijn (2010: 6) bahwa terdapat beberapa alasan mengapa branding diperlukan dalam proses pemerintahan saat ini, yaitu:

  1. Pemerintah perlu memiliki daya tarik bagi kelompok lain, karena proses pemerintahan tidak bisa lagi dikelola oleh pemerintah saja. Dalam pemerintah kota misalnya, investor memainkan peran penting menyediakan sumber daya keuangan dan pengetahuan. Warga juga memiliki peran penting, karena mereka dapat setuju atau tidak pada sebuah rencana dan mensosialisaikannya pada komunitasnya;
  2. Pemerintah tidak mungkin merealisasikan kebijakannya top-down tanpa support pihak lain. Memerlukan pemangku kepentingan untuk memotivasi kelompok lain untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan. Tetapi disisi lain pemerintah menghadapi kecenderungan rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi publik. Loyalitas dan dukungan mensyaratkan komunikasi yang peduli dan konsisten dan menyentuh aspek emosional;
  3. Masyarakat suka hal-hal yang berbau budaya populer, seringkali mereka mengukur politisi atau peristiwa politik dengan cara yang sama mereka melihat budaya populer. Emosi dan gaya menjadi krusial. Sebab lainnya, terdapat trend mengadopsi strategi sektor swasta ke sektor publik. Terdapat kecenderungan digunakannya manajerialism pada sektor publik misalnya menggunakan indikator kinerja dan kontrol output. Digunakannya branding juga menjelaskan fakta adopsi strategi swasta ke sektor publik.

Tahapan pengembangan city brand menurut Morgan & Pritchard (2004) terdiri dari lima tahap yaitu :1) investigasi pasar, analisis dan rekomendasi strategis 2) pengembangan brand identity 3) peluncuran brand –mengkomunikasikan visi 4) implementasi brand dan 5) monitoring dan evaluasi. Sedangkan karakteristik branding daerah yang sukses antara lain memenuhi beberapa aspek berikut: well-funded (memiliki pendanaan yang baik); vision based on intensive research (memiliki visi yang berbasis riset); care and discipline in communicating brand (peduli dan disiplin dalam mengkomunikasikan brand); partnership and alliance (terdapat kemitraan dan aliansi dengan stakeholders) serta forward looking, innovative and commited managers (memiliki pemimpin yang inovatif serta berkomitmen pada pengembangan brand).

 

BRANDING SEBAGAI KEBIJAKAN KOMUNIKASI (PUBLIK)

Kebijakan branding dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan komunikasi, sekaligus kebijakan publik, karena dilakukan oleh pemerintah dan berkenaan dengan urusan publik. Thomas Dye mengartikan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government choose to do or not to do). Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan pengalokasian nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan” sedangkan Lasswell dan Kaplan menyebut kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, kebijakan merupakan program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktik (Abidin, 2012: 5-6). Sedangkan menurut Mustopadidjaja (2003: 5), kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahn tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka tugas pemerintahan negara dan pembangunan.

Ciri-ciri  dari  kebijakan (Abrar, 2008:13;  Abidin, 2012:23) yaitu: 1) berorientasi kepada tujuan tertentu 2) berisi tindakan yang menjadi arahan bagi instansi-instansi terkait untuk dilaksanakan 3) tindakan yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah untuk menangani masalah yang penting dalam masyarakat 4) bersifat positif dalam arti bisa perintah melakukan tindakan tertentu atau negatif berupa larangan melakukan sesuatu tindakan 5) dibuat berdasarkan peraturan perundangan yang bersifat mengikat, memiliki daya ikat dan daya paksa.

Kebijakan publik merupakan fenomena yang kompleks dan dinamis yang dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Kompleksitas dan dinamika tersebut akan lebih terasa apabila kita kaitkan dengan proses kebijakan. Menurut Mustopadidjaja (2003) dari sudut manajemen, proses kebijakan dapat dipandang merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok kegiatan utama yaitu formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kinerja kebijakan. Proses kebijakan publik bukanlah semata-mata kegiatan teknis-teknokratis tetapi juga kegiatan sosiopolitis yang sangat dinamik dan berlangsung dalam kelembagaan yang kompleks.

Santosa (2012) mengemukakan, formulasi kebijakan berlangsung dalam suatu sistem dan lingkungan kebijakan dinamis dan majemuk yang memerlukan pemahaman baik dari dimensi sisi politis, teknis maupun kelembagaan. Pemahaman dan sensitivitas terhadap keadaan dan lingkungan strategik, antisipasi perilaku politik para stakeholders serta sistem dan stratifikasi kebijakan, alternatif kebijakan sebelum akhirnya dituangkan dalam peraturan yang sesuai dengan lingkup permasalahannya. Model perumusan kebijakan paling tidak mencakup: menetapkan tujuan yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu; memeriksa kecukupan sumber daya yang tersedia; menyusun kebijakan yang mendukung pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan.

Implementasi kebijakan merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk melaksanakan sesuatu kebijakan secara efektif. Implementasi merupakan pelaksanaan aneka ragam program yang dimaksudkan dalam suatu kebijakan yang amat menentukan hasil dari kebijakan tersebut. Perbedaan dapat muncul antara pernyataan kebijakan (policy statement) dengan hasil kebijakan (policy output). Gow dan Morss dalam Pasolong (2010:59) mengemukakan hambatan yang ditemui dalam implementasi terdiri dari hambatan politik, ekonomi, lingkungan kelemahan institusi, ketidakmampuan sumber daya manusia di bidang teknis dan administratif, kekurangan dalam bantuan teknis, kurangnya desentralisasi dan partisipasi, pengaturan waktu, sistem informasi yang kurang mendukung, perbedaan agenda tujuan antar aktor, dan dukungan yang berkesinambungan.

Sedangkan evaluasi kebijakan menurut Mustopadidjaja (2003: 46) bertujuan mengukur efektivitas dan dampak kebijakan. Lingkup evaluasi kebijakan secara komprehensif meliputi penilaian mengenai latar belakang dan alasan-alasan diambilnya sesuatu kebijakan  tujuan dan kinerja kebijakan, berbagai instrument kebijakan yang dikembangkan dan yang dilaksanakan, respons kelompok sasaran dan stakeholders lainnya serta konsistensi aparat, dampak yang timbul dan perubahan yang ditimbulkan, perkiraan kehadiran tanpa kehadirannya dan kemajuan yang dicapai kalau kebijakan dilanjutkan atau diperluas.

Dari segi ruang lingkupnya kebijakan komunikasi sangat luas mulai dari komunikasi interpersonal hingga komunikasi massa. Mulai dari bidang pendidikan, kesehatan hingga pariwisata. Jelas kiranya bahwa kebijakan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah merupakan kebijakan publik.  Sebagaimana dikatakan Anderson “public policies are those policies are developed by governmental bodies and official.” Menuru Abrar (2008:12) kebijakan komunikasi merupakan studi tentang keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan persoalan komunikasi. Kajian kebijakan komunikasi mengidentifikasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan komunikasi, membedah, menganalisis dan mengambil kesimpulan tentang keberadaan kebijakan tersebut.

Kebijakan Komunikasi menurut Mc Braid (dalam Cangara 2013: 12) adalah prinsip-prinsip, aturan-aturan atau pedoman di mana sistem komunikasi dibangun sehingga menjadi kerangka kerja yang dapat digunakan untuk mengoordinasikan kegiatan, memilih pendekatan dengan melihat kemungkinan alokasi dana, keputusan-keputusan struktural yang berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, serta berusaha menyisihkan ketidakseimbangan faktor-faktor eksternal dan internal serta menetapkan prioritas yang diambil.

Lebih jauh Cangara menyebutkan bahwa kebijaksanaan (kebijakan) komunikasi memiliki ruang lingkup dan cakupan tugas yang luas. Kebijakan komunikasi dalam konteks luas merupakan perencanaan strategik, sedangkan perencanaan komunikasi itu sendiri adalah perencanaan operasional untuk jangka menengah atau jangka pendek. Kebijakan memberi kerangka dasar sebelum perencanaan diimplementasikan. Perencanaan harus selalu berpedoman pada kebijakan komunikasi, bila tidak sinkron maka upaya yang dilakukan dalam perencanaan komunikasi merupakan pekerjaan yang sia-sia, pemborosan baik dari segi biaya, tenaga maupun waktu.

Dalam prakteknya kebijakan komunikasi tidak selalu terumuskan dengan jelas dan spesifik. Menurut Permenpan tahun 2007 (dalam Nugroho, 2011) bentuk kebijakan publik ada dua macam yaitu: 1) peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal yaitu peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksana lainnya 2) pernyataan pejabat di depan publik. Pernyataan pejabat publik dimaksud adalah pernyataan-pernyataan dari pejabat publik baik dalam bentuk pidato tertulis, pidato lisan atau pernyataan-pernyataan publik, termasuk pernyataan kepada media massa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang menurut Yin (2011:55) akan menghasilkan bukti penelitian yang lebih kuat. Studi kasus merupakan  salah satu pendekatan dalam penelitian kualitatif di mana peneliti mengeksplorasi entitas yang dibatasi waktu (bounded system) baik berupa kasus atau multikasus secara detail dengan melibatkan data yang mendalam berupa informasi multi sumber (Creswell, 2006:73).

Penelitian ini bersifat kualitatif sehingga teknik  pengambilan sampel yang digunakan adalah  purposive sampling, dimana individu yang menjadi informan dalam penelitian dipilih karena memenuhi kriteria atau tujuan tertentu dari peneliti misalnya pertimbangan berdasarkan konsep teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empirisnya dan lain-lain. (Daymon & Holloway, 2008).

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari narasumber (informan), tempat dan peristiwa serta dokumen/arsip. Sumber data utama penelitian ini adalah individu yang terlibat pada proses branding kota yang terdiri dari unsur pemerintah daerah terkait serta individu dari kelompok pemangku kepentingan kota. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview), focus group discussion (FGD), observasi serta analisis dokumen.

Analisis data merupakan salah satu langkah penting dalam rangka melihat temuan-temuan hasil penelitian. Dalam penelitian ini digunakan model analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1992: 16-20). Dalam model analisis ini terdiri dari pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion/verification).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

FORMULASI KEBIJAKAN

Kebijakan branding yang dilakukan oleh pemerintah kota Surakarta merupakan penjabaran Rencana Jangka Panjang Menengah Daerah (RJPMD) Periode 2010-2015. Dalam RJPMD disebutkan Visi dan Misi Walikota selama kurun waktu 2010-2015 adalah “Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Memajukan Kota Dilandasi Spirit Solo sebagai Kota Budaya”. Sedangkan misi yang diusung mencakup sembilan aspek, yang salah satunya adalah pengembangan brand image kota dengan melakukan penataan kawasan wisata, budaya dan perdagangan serta meningkatkan eventevent bertaraf nasional dan internasional.

Visi Walikota adalah visi pembangunan daerah dalam RPJMD Kota Surakarta Tahun 2010-2015 yang pada dasarnya merupakan Visi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih yang disampaikan pada waktu Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Visi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih menggambarkan arah pembangunan atau kondisi masa depan daerah yang ingin dicapai (desired future) dalam masa jabatan selama 5 (lima) tahun.

RPJM 2010-2015 merupakan perencanaan untuk periode kedua masa pemerintahan Jokowi dan Rudy setelah terpilih kembali sebagai Walikota dan Wakil Walikota Surakarta pada pemilukada yang digelar pada tanggal 26 April 2010. Sedangkan dalam periode 5 tahun sebelumnya (2005-2010) visi pasangan Jokowi-Rudy adalah Berseri tanpa Korupsi. Pada dokumen RPJMD Kota Surakarta periode pertama juga terdapat aspek misi yang berkaitan dengan image kota. Tepatnya pada yaitu pada agenda keempat yaitu meningkatkan eksistensi kota dan dalam  tata pergaulan regional, nasional maupun internasional.  Pada agenda keempat inilah salah satu sasarannya yaitu meningkatkan image kota Surakarta, yang ditempuh melalui program pembangunan Surakarta Kota Budaya.

Selain terbaca pada dokumen resmi pemerintah, terminologi branding kota Solo sering diungkapkan oleh mantan walikota Solo Jokowi dalam berbagai kesempatan. Konsep Jokowi tersebut misalnya pernah disampaikan dalam sebuah seminar Marketing City di Kompleks Balekambang, 9 April 2011. Dalam kesempatan tersebut Jokowi mengungkapkan pentingnya mengelola brand sebagai label yang dimiki sebuah kota yang harus terus dikembangkan. Jokowi mengatakan:

“Kita butuh city branding yang disusun berdasarkan potensi kota yang dimiliki Solo. Taman hijau, transportasi modern, wisata kuliner dan pasar merupakan potensi yang layak ditawarkan Kota Solo pada dunia. Seluruh produk yang dimiliki Solo, harus terus didinamisasi, agar tetap menarik dan menjadi andalan Kota Solo. Solo mempunyai label sebagai kota budaya, sehingga label ini harus tetap dipertahankan dan harus selalu dikembangkan. Berbagai kegiatan budaya maupun gaya hidup yang berbudaya, harus tetap dipertahankan.” (Joglosemar, 11 April 2011)

Berdasarkan pernyataan mantan walikota tersebut serta dalam dokumen RPJM, brand image yang hendak dibentuk adalah Solo sebagai Kota Budaya. Budaya merupakan daya tarik utama bagi pengunjung kota Solo. Bagi aparat pemerintah kota Surakarta branding merupakan istilah baru yang dianggap inovasi walikota. Menurut informan Endang Hartini (EH) bagi jajaran pegawai di pemkot Surakarta, branding memang merupakan istilah baru. Istilah tersebut baru muncul sejak kepemimpinan Jokowi dan selalu ditekankan dalam setiap kesempatan. Selama ini tidak ada penjelasan secara khusus, namun menurutnya para pegawai mencoba menerjemahkan sendiri apa yang dimaksud dengan branding tersebut.

Branding itu dulu sebelum pak Jokowi kita juga nggak tahu. Karena beliau dari swasta itu kan ada manajemen produk, dan sebagainya ya.. Lama-lama kita juga mempelajari o memang betul ya kalau kita mau dikenal orang, kalau kita mau orang mengo (melihat), kita harus ada sesuatu yang membuat orang menoleh atau melihat kita, sehingga dari awal muncul itu branding. Ternyata betul kalau kita itu tidak ada istimewanya kita itu tidak akan diperhitungkan.” (Wawancara EH, Kabag Kepegawaian Pemkot Surakarta, 14 September 2012)

Proses branding kota Solo sebenarnya cukup panjang. Prosesnya dimulai dari terbentuknya Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) di Wilayah Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten) yang kemudian mendapatkan pendampingan dari GTZ-Bappenas dalam mengembangkan perekonomian regional, salah satunya dengan melakukan regional marketing. Dari situlah kemudian secara intensif dikembangkan branding bagi kawasan.

Pengembangan slogan dan logo sebagai identitas wilayah ini dilaksanakan secara partisipatif, dimulai dengan penjaringan aspirasi untuk nama wilayah (subyek) juga dilakukan tim GTZ-Red melalui serangkaian focus group discussion (FGD) dengan pemangku kepentingan di masing-masing kabupaten/kota, yang dilaksanakan antara bulan April–Mei 2005, dilanjutkan dengan penyelenggaraan sayembara slogan yang dimulai dengan sejak 4 Oktober- 14 Nopember 2005.

Tahapan berikutnya dari pengembangan brand tersebut adalah menentukan slogan atau tagline dengan mengadakan sayembara slogan bagi kawasan eks karesidenan Surakarta. Slogan The Spirit of Java didapatkan dari proses sayembara tersebut yang dilakukan pada 1-20 Oktober 2005. Sayembara yang dibuka untuk publik dimenangkan oleh Dwi Endang Setyorini warga Giriroto, Ngemplak, Boyolali. Slogan tersebut terpilih dari total 314 peserta yang mengusulkan slogan,

Setelah melalui penilaian juri yang dilakukan pada tangal 3-4 Desember 2005 dan melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan di Subosukowonosraten maka dipilih Solo The Spirit of Java sebagai subyek dan slogan identitas wilayah Subosukowonosraten. Subyek dan slogan ini selanjutnya dikembangkan lagi dalam tampilan grafis dan logo yang diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi identitas wilayah yang baru sekaligus agar mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembuatan grafis dan logo Solo The Spirit of Java dilakukan dengan proses pitching yang dimenangkan oleh Biro Iklan Freshblood. Hasil perumusan brand tersebut dituangkan dalam Peraturan Bersama Walikota Surakarta, Bupati Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati Karanganyar, Bupati Wonogiri, Bupati Sragen dan Bupati Klaten Nomor 1A tahun 2008 tentang Identitas Wilayah Subosukowonosraten.

Slogan SoloThe Spirit of Java sendiri sesuai peraturan bersama tersebut memiliki makna semangat bersama dalam proses pengembangan ekonomi, dilandasi oleh jiwa yang menjunjung tinggi budaya, sejarah dan nilai-Jawa sebagai sumber energi dan inspirasi seluruh nilai luhur pendahulunya. Sedangkan elemen grafis slogan memiliki makna yang lebih spesifik yang terdiri dari:

  1. Bentuk dari garis-garis lengkung yang terkesan berputar dinamis dengan pusat putaran lung yang merupakan stilasi dari kedelapan unsur filosofi masyarakat Jawa sebagai sumber energi dan inspirasi seluruh kegiatan yang mendinamisir kawasan daerah. 7 (tujuh) goresan lengkung menggambarkan 6 kabupaten dan 1 kota. 1 Lung yang menjadi pusat lingkaran menggambarkan visi bersama untuk maju sekaligus icon yang mewakili kekhasan lokal. Bentuk dan arah gerak lingkaran menggambarkan dinamisme dan semangat untuk maju bersama
  2. Penulisan kata Solo dibuat dengan huruf modern untuk menyatakan kedinamisan. Penulisan huruf L yang lebih panjang menandakan keseimbangan, pergerakan dan pertumbuhan kawasan. Huruf “O” pertama yang berbentuk ‘lung”menggambarkan sifat masyarakat yang supel dan luwes, mau menerima perubahan dan berusaha terus untuk mencapai kemajuan. Bentuk ini merupakan bentuk yang banyak digunakan dalam berbagai ornamen Jawa seperti batik, ukir dan sebagainya. Alasan pemilihan kata Solo sebagai brand name dalam slogan tersebut karena sudah dikenal secara nasional dan internasional, dan secara nyata digunakan oleh masyarakat daerah untuk menyebut lokasi tinggalnya dan menjadi kebanggaan bersama. Kata Solo juga dianggap lebih mudah diingat dan diucapkan.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Dalam perjalanannya Solo the Spirit of Java sebagai regional brand tidak berjalan. Hanya kota Surakarta yang banyak menggunakannya, sedangkan kabupaten lain merasa kurang diuntungkan menggunakan brand tersebut. Sebutan “Solo” dianggap hanya menguntungkan kota Surakarta saja. Sehingga seolah brand tersebut menjadi milik kota Solo saja. Terlebih pemerintah kota Surakarta sejak tahun 2010 telah memprogramkan puluhan event setiap tahunnya sebagai implementasi branding. Dana milyaran rupiah digelontorkan tiap tahun dengan tujuan meneguhkan citra Solo sebagai kota budaya sekaligus menarik publik agar berbisnis, berwisata atau menggelar meeting di kota Solo. Event tersebut dirangkum dalam sebuah calendar of event yang dicetak eksklusif dan didistribusikan kepada berbagai pihak. Untuk tahun 2012 terdapat 47event yang tercantum dalam kalender event. Pilihan kepada event sebagai taktik yang digunakan untuk branding menurut Irfan Sutikno (IS) dianggap pilhan yang rasional dan tepat disaat sebenarnya kota Solo juga masih terus berbenah. Menurutnya:

“Waktu itu sebenarnya Jokowi masih ragu untuk “menjual” kota Solo. Tetapi dengan melalui event itu strategi PR yang dipakai, sehingga mau tidak mau media akan meliput. Dia tahu bahwa kalau TV itu perlu dan senang dengan gambar yang atraktif. Bahkan kemudian Jokowi juga berupaya melobi banyak pihak untuk menyelenggarakan event di Solo.” (Wawancara IS, Direktur Biro Iklan Freshblood, 20 Agustus 2012)

Selain menggelar event secara intensif, branding kota Solo juga dilakukan melalui penataan kota secara fisik. Sejak periode pertama kepemimpinannya Jokowi banyak melakukan penataan dan mempercantik wajah kota. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Jokowi dalam sebuah tulisannya, beberapa tempat yang dimaksud misalnya kawasan Ngarsopuro serta beberapa ruang publik di Kota Solo juga telah dibangun atau ditata, di antaranya city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Taman Balekambang, Kawasan Monumen 45 Banjarsari, Kawasan Stadion Manahan, dan Bantaran Sungai Kalianyar (Taman Air Tirtonadi dan Taman Sekartaji) serta taman-taman lainnya di Kota Solo. Menurut Jokowi, penataan beberapa kawasan di kota Solo tersebut bertujuan untuk membuat kota yang nyaman bagi warga sekaligus wisatawan. Lebih jauh Jokowi mengatakan:

“Semua pembangunan ruang publik tersebut diniatkan agar bisa menjadi tempat bertemu (meeting place)

yang hidup dan populer bagi warga Kota Solo. Dalam perencanaan global, pembangunan ruang publik adalah bagian dari penataan wajah kota, membuat Kota Solo menjadi lebih bersih, sehat, rapi, indah dan yang lebih penting lagi adalah membuatnya nyaman untuk dihuni oleh warga kota maupun didatangi para wisatawan, termasuk juga para investor.” (Solopos, 31 Desember 2009)

Branding yang dilakukan oleh pemerintah kota Solo dilakukan tanpa perencanaan khusus pengembangan brand. Seolah kebetulan ketika terdapat visi kota budaya serta image yang ingin dibentuk juga kota budaya, telah ada regional brand Solo The Spirit of Java. Meskipun mengadopsi kebijakan branding dalam RPJM namun pemerintah kota Surakarta tidak melakukan secara khusus baik dalam hal kelembagaan maupun perencanaannya sehingga pemerintah tidak memiliki suatu rencana strategis yang spesifik mengenai brand kota. Hal ini didukung oleh pernyataan IS berikut ini:

“Saya tahu persis Solo tidak mempersiapkan strategic city branding itu tidak ada, strategic direction tidak ada. Itu beberapa kali saya tanyakan ketika bertemu pak Jokowi tetapi beliau selalu bilang nanti dulu mas, kota ini harus dipercantik dulu, kalau sekarang belum layak. Periode pertama Jokowi fokus pada aspek fisik sehingga Solo lebih layak dulu sebelum untuk dipromosikan keluar. Alasannya kalau mau ngomong Solo keluar masih ngisin-isini. Padahal teman-teman dari swasta pengennya cepet saja untuk segera promosi Solo keluar. Tetapi Jokowi tidak.” (Wawancara IS, 20 Agustus 2012)

Gencarnya event dan penataan kota sebagai wujud kebijakan branding kota Surakarta yang menginduk dari RPJMD tidak diikuti dengan kejelasan tentang status brand identity apakah masih menggunakan regional brand Solo The Spirit of Java atau identitas baru. Faktanya, di satu sisi identitas Solo the Spirit of Java masih digunakan dalam berbagai aplikasi publikasi namun juga tidak diperkuat. Akibatnya brand tersebut berhenti pada logo dan tagline saja tanpa upaya ekplorasi makna lebih jauh yang kemudian diterapkan dalam perilaku serta karakter kota dan warganya. Tanpa ada lembaga yang ditunjuk untuk mengawal brand yang diterapkan oleh sebuah kota, dalam implementasinya terdapat inkonsistensi yang tidak bisa dihindari.

Menurut IS branding yang sudah dilakukan oleh kota Solo ini memang baru tahap visual branding, itupun juga belum sempurna karena sebagian besar pemerintah maupun warga masih belum memahami konsekuensi dari branding. IS mencontohkan bagaimana perilaku dalam penggunaan logo yang seharusnya konsisten sesuai dengan panduan aplikasi masih sering ditabrak, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

“Memang city branding-nya masih sebatas visual dan fisikal bahkan BST (Batik Solo Trans) misalnya wayangnya masih wayang Jogja. Batiknya juga masih batik Jogja.  Logo Solo the Spirit of Java juga nggak standar tapi kayaknya memang gak peduli soal itu. Apa saja ditempelkan. Tapi saya sangat paham Jokowi yang penting makro-nya dapat dulu jadi yang detail-detail itu nanti.” (Wawancara IS, 20 Agustus 2012)

Inkonsistensi pemerintah kota Surakarta juga terlihat pada aplikasi logo dan slogan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Walikota dan Bupati. Menurut Budy Sartono (BS) pemerintah kota Surakarta tidak memiliki program khusus untuk memperkuat brand identity tersebut. Mereka melihat brand sudah bekerja dengan sendirinya, sebagaimana penjelasan berikut ini:

“Itu tagline ya, dulu Solo raya, akhirnya secara alami tidak bisa dipisahkan dengan kota Solo.. itu yang luar biasa, sudah ter-internalisasi nilai spirit of java itu menjadi tagline kota Solo, gak usah diproklamirkan gak usah diapain orang semua sudah tahu, tagline Solo apa, Solo the spirit of java, tanpa kita harus oya donk (dipake terus), hahaha…Ya memang begitu.. masih kita pakai, tapi juga tidak kita gencarkan,..haha…karena itu kan sudah menjadi milik publik. Nggak kita promosikan kan masyarakat juga sudah paham, publik sudah pakai.” (Wawancara BS, Kepala Bidang Promosi Pemkot Surakarta, 12 Juli 2012)

EVALUASI KEBIJAKAN

Dalam kebijakan branding yang dilakukan, pemerintah memposisikan Solo sebagai kota budaya, namun positioning itu tidak otomatis diikuti oleh pemangku kepentingan. Setelah beberapa tahun brand diluncurkan aktualisasi nilai-nilai budaya tersebut dalam keseharian warga belum begitu terlihat, bahkan sebagian informan mengatakan budaya Jawa cenderung semakin susah ditemukan dalam perilaku orang Solo.

Meskipun sama-sama memiliki tujuan yang sama untuk mempromosikan kota namun antara pemerintah dan pemangku kepentingan (khususnya pariwisata) memiliki keinginan dan prioritas yang tidak selalu sejalan.  Dari pandangan pelaku pariwisata misalnya event yang disusun seharusnya tidak begitu banyak. Menurut mereka event tersebut dapat dipilih beberapa yang merupakan unggulan namun benar-benar dapat menarik wisatawan untuk datang. Dengan jumlah yang lebih sedikit, menurut pelaku pariwisata biaya yang ada juga dapat dimaksimalkan.

Dari sisi pemerintah, jumlah event yang banyak tersebut selain dimaksudkan untuk mengakomodir potensi seni dan budaya juga untuk memperkuat efek pemberitaan positif tentang kota Solo sepanjang tahun. Namun sayangnya perbedaan kualitas dan ‘news value’ pada tiap event sangat variatif sehingga beberapa event tidak cukup efektif baik dari segi penonton maupun efek pemberitaan.

Meskipun demikian upaya branding yang sudah dilakukan selama beberapa tahun, relatif telah membawa hasil. Sejumlah informan menyebut nama Solo menjadi lebih dikenal di lingkup nasional maupun internasional. Menurut BS, melalui event misalnya, dapat menjadi pengingat orang atau menjadi sesuatu yang identik dengan kota Solo. Branding yang dilakukan oleh pemerintah telah menghasilkan publikasi yang bagus dan membuat Kota Solo menjadi lebih dikenal. Hal ini menurutnya juga akibat liputan media terhadap berbagai event maupun prestasi Kota Solo. Popularitas Kota Solo juga ditandai dengan semakin banyak pengunjung yang datang, termasuk banyaknya rombongan pejabat daerah lain yang melakukan studi banding ke Kota Solo. Sayangnya, meskipun branding telah membuat nama Solo lebih dikenal, hal itu belum cukup untuk bisa memberikan dampak ekonomi terutama bagi peningkatan kunjungan pariwisata dan investasi. Dalam beberapa tahun penyelenggaran event tersebut dilakukan oleh pemerintah, hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah pengunjung masing-masing event serta dampak event tersebut terhadap kunjungan wisata dan investasi di kota Solo.

ANALISIS

Formulasi kebijakan komunikasi branding kota Solo yang bersumber dari RPJMD tidak menggunakan perencanaan komunikasi pada umumnya. Event yang biasanya merupakan bagian dari taktik komunikasi pemasaran langsung ditentukan, tanpa didahului oleh analisis situasi dan objektif pemasaran. Dalam kasus branding kota Solo beberapa dimensi SOSTAC tidak dilakukan secara eksplisit namun lebih bersifat praktis dan langsung bersifat operasional mengacu pada RPJMD sebagai dokumen perencanaan kota secara umum.

Formulasi kebijakan dalam hal ini mengabaikan pemahaman dimensi teknis maupun kelembagaan. Dimana komunikasi keunggulan daerah melalui branding dibuat namun prosedur branding tidak dijalankan. Kebijakan branding yang diambil oleh kota Surakarta juga gagal melakukan harmonisasi kebijakan, yaitu antara RPJMD dengan peraturan bersama tujuh kepala daerah yang melahirkan brand identity Solo the Spirit of Java. Akibatnya terjadi kerancuan dan inkonsistensi terhadap penggunaan brand identity. Secara kelembagaan juga tidak jelas penanggungjawab kebijakan branding tersebut. Branding direduksi dengan kegiatan event dan penataan kota yang dilaksanakan sebagai program kerja dinas terkait, namun tidak ada koordinasi khusus menyangkut branding.

Proses shortcut pada formulasi kebijakan berakibat pada tahap implementasi kebijakan yang menemui banyak hambatan, misalnya lemahnya kelembagaan yang memantau kinerja branding, kurangnya pemahaman sumber daya manusia pemerintah mengenai brand dan membuat program yang market oriented, perbedaan agenda tujuan antar aktor, dan keberlanjutan branding. Kebijakan yang dirumuskan dalam peraturan bersama serta RPJM juga kurang memiliki daya ikat dan daya paksa terhadap stakeholders untuk turut serta mensukseskan branding. Implementasi Solo The Spirit of Java seolah berhenti pada logo dan tagline saja tanpa upaya ekplorasi makna lebih jauh yang kemudian diterapkan dalam perilaku dan karakter kota dan warganya. Keberadaan logo dan slogan tersebut saat ini hanya sekedar dipakai di kaos-kaos souvenir atau di stiker-stiker tetapi maknanya hampir tidak menjiwai aktivitas masyarakat.

Lepas dari segala dinamikanya proses branding kota Solo telah berjalan. Sebagaian besar informan menyatakan bahwa branding dapat meningkatkan awareness kota Solo, meskipun belum sampai menghasilkan dampak pada peningkatan jumlah wisatawan atau investasi. Hal ini dapat dipahami karena pendekatan branding yang dilakukan oleh kota Solo masih belum berorientasi target market. Aktivitas komunikasi apa yang paling cocok untuk memenuhi kebutuhan informasi dan memotivasi calon wisatawan atau investor belum menjadi perhatian. Penyelenggaraan event budaya sebagian besar masih belum berorientasi pasar, lebih bersifat pelestarian atau ekspresi seni kalangan tertentu. Hingga saat ini pemerintah juga belum melakukan evaluasi secara sistematis terhadap efektivitas program-program yang dimaksudkan sebagai implementasi branding tersebut. Tanpa kejelasan indikator keberhasilan dari kebijakan komunikasi city branding tersebut sulit untuk menjawab apakah kebijakan tersebut berhasil atau gagal. Perlu dilanjutkan atau dihentikan.

SIMPULAN

Kebijakan branding kota Solo secara eksplisit telah diprogramkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan didukung oleh Peraturan Walikota, namun tidak adanya perencanaan (strategic brand planning) serta masih lemahnya koordinasi antara pemerintah dengan pelaku lainnya membuat kebijakan city branding kota Solo mengalami inkonsistensi. Beberapa kesimpulan tentang kebijakan city branding kota Solo berikut ini diharapkan dapat menjadi lesson learned bagi pemerintah kabupaten/kota di Indonesia dalam memasarkan potensi dan meningkatkan daya saing daerah.

Pada tahapan formulasi, kebijakan komunikasi branding kota Solo yang bersumber dari Visi dan Misi Walikota serta RPJM tidak melalui tahapan perencanaan komunikasi pada umumnya.Formulasi kebijakan dalam hal ini mengabaikan pemahaman dimensi teknis maupun kelembagaan. Akibatnya terjadi kerancuan dan inkonsistensi terhadap penggunaan brand identity. Secara kelembagaan juga tidak jelas penanggungjawab kebijakan branding tersebut.

Implementasi branding dijalankan dengan kegiatan event dan penataan kota yang dilaksanakan sebagai program kerja dinas terkait, namun tidak ada koordinasi khusus menyangkut branding. Berbagai kendala yaitu lemahnya kelembagaan yang memantau kinerja branding, kurangnya pemahaman sumber daya manusia pemerintah mengenai brand dan market orientation, perbedaan agenda tujuan antar aktor, dan keberlanjutan branding. Kebijakan yang dirumuskan dalam peraturan bersama serta RPJM juga kurang memiliki daya ikat dan daya paksa terhadap stakeholders untuk turut serta mensukseskan branding.

Kebijakan branding kota Solo dirasakan dapat meningkatkan awareness kota Solo, namun belum dilakukan evaluasi secara sistematis terhadap efektivitas program-program yang dimaksudkan sebagai implementasi branding tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal (2012). Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika

Abrar, Ana Nadya. (2008). Kebijakan Komunikasi : Konsep, Hakekat dan Praktek. Yogyakarta: Gava Media

Creswell, John W. (2006). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Approaches. Thousand Oaks,. CA: Sage.

Daymon, Christine dan Holloway, Immy. (2008). Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Penerbit Bentang

Dwidjowijoto, Riant D. (2004). Komunikasi Pemerintahan Sebuah Agenda bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo

Eushuis, Jasper & Klijn, Erik-Hans. (2010). Branding in governance processes: a theoretical perspective. Paper for the 14th International Research Seminar of Public Management: “The crisis: challenges for management”, Panel Public Branding, Bern: University of Berne.

Kavaritzis, Michalis. (2004). From Marketing to City Branding: Towards a Theoritical Framework for Developing City Brands. Place Branding and Public Diplomacy, 1 (1), 58-73

Kertajaya, Hermawan. (2005). Attracting Tourist, Trader, Investor Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Morgan, Nigel & Pritchard, Annete. (2004). Destination Branding. Creating the Unique Destination Proposition. Elsevier Butterworth-Heinemann

Miles, Matthew B & Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Penerj. Tjtjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Nugroho, Riant. (2011). Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Mustopadidjaja. (2003). Manajemen Proses Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara- Duta Pertiwi Foundation

Pasolong, Harbani. (2010). Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.

Pemerintah Kota Surakarta. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Kota Surakarta 2010-2015

Prisgunanto, Ilham. (2002). Komunikasi Pemasaran: Strategi & taktik dilengkapi analisis SOSTAC& STOP-SIT. Jakarta: Ghalia Indonesia

Santosa, Pandji. (2012). Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung: Refika Aditama

Yin, Robert K. 2011. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Press

 

*) Paper disajikan pada Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) Yogyakarta 10-11 Desember 2014