MENIMBANG KEKUATAN IKLAN POLITIK
Sejak era reformasi dan kemudian disusul sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, terdapat fenomena yang tidak pernah ada pada masa orde baru yaitu marketing politik. Marketing politik merupakan akibat logis dari dibukanya sistem politik yang demokratis, dimana pemilih bebas menentukan pilihan. Politik yang demokratis kini analog dengan kompetisi dalam dunia bisnis, dimana kandidat harus memperebutkan calon pemilih (konsumen) sebagai khalayak sasaran. Salah satu alat yang lazim digunakan dalam marketing politik adalah iklan, disamping berbagai tools komunikasi lainnya.
Menurut Yulianti (2004), iklan politik televisi muncul pertama kali tahun 1952 dan selalu sarat dengan kontroversi. Contoh, iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, yang kondang disebut iklan “Bunga Daisy”. Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan jamur api maha dahsyat membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan ketakutan rakyat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson, untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet. Iklan politik itu hanya ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah kontroversi menjadi perdebatan publik. “Bunga Daisy” merupakan satu dari ratusan iklan politik sepanjang lebih dari 50 tahun sejarah perkembangannya. Iklan politik selalu menarik perhatian publik AS selama 13 kali pemilihan presiden, meski diperlukan uang luar biasa besar. Pada kampanye Pemilu 1988, tiap calon presiden mengeluarkan dana rata-rata 228 juta dollar AS untuk belanja iklan politik. Jumlah ini sekitar 8,4 persen dari biaya kampanye keseluruhan.
Di Indonesia iklan politik semakin penting digunakan para politisi dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden, tetapi juga tak lepas dari kontroversi. Pakar politik Arbi Sanit misalnya menilai langkah sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa saat ini untuk menghadapi pemilu 2009 merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab menurutnya lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Lebih jauh Arbi, seperti dikutip Kompas mengatakan:
“Lewat iklan itu, masyarakat hanya diajak untuk memilih orang yang populer. Ini menjebak rakyat karena pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas tetapi harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji. Di Indonesia iklan membuat orang dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus membuktikan kemampuannya, misalnya membuat partainya memenangi pemilu. Iklan oleh aktivis parpol terbukti efektif mempengaruhi rakyat. Ini terlihat pada Pemilu 2004. Momen itu (Pemilu 2004) yang memancing adanya kesalahan jalan politik kita, terutama lewat iklan.”
Berbeda dengan Arbi Sanit, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir yang juga gencar melakukan iklan politik mengatakan, PAN dan kader yang dimilikinya memang harus mempromosikan diri. Apalagi, sistem pemilihan presiden langsung mengharuskan seseorang harus dikenal luas masyarakat sebelum rakyat menentukan pilihan. Sementara Calon presiden lain Wiranto, menyangkal jika iklan tentang kemiskinan yang dibuatnya belakangan ini bertujuan politis (Kompas, 22 Mei 2008).
Membahas iklan politik memang menarik, apalagi di Indonesia bidang ini belum banyak dikaji. Selain kontroversi yang meliputinya, isu lain adalah seberapa efektif sebenarnya iklan politik untuk menjaring massa pemilih. Tanpa kajian yang jelas tentu para kandidat hanya menghabiskan dana milyaran rupiah dengan percuma untuk memproduksi dan menayangkan iklan. Pembahasan berikut akan melihat sampai dimana potensi iklan sebagai alat marketing politik.
Potensi Iklan Politik
Menurut Linda Lee Kaid dalam Putra (2007), iklan politik adalah proses komunikasi dimana seorang sumber (biasanya kandidat dan atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan melalui media massa guna meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku politik khalayak.
Iklan sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1).
Seperti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan politik tak lain adalah mempersuasi dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut iklan politik tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan (pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu (issues posisition) dan kandidat mewakili siapa (group ties). Isi (content) Iklan politik senantiasa berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track record-nya) dan pengalamannya. Iklan politik, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara dan musik.
Secara umum, ada sembilan tahapan proses terkait dengan pembuatan dan penyiaran iklan, baik iklan media cetak maupun media elektronik (Johnson, 2001 dalam Nursal 2004: 254), yakni:
1. Riset tentang unsur-unsur mana dari bagian produk politik yang akan disampaikan untuk mendukung positioning kontestan, disampaikan dengan cara apa, melalui media mana, dan berapa durasi atau luas halaman dan frekuensi pemasangan iklan tersebut. Riset ini dapat dilakukan dengan focus group analysis, benchmark survey, dan targeting analysis.
2. Keputusan pembelian, yakni membuat komitmen pembelian ruang atau waktu terhadap media-media yang dipilih. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembelian ruang atau waktu media ini adalah masalah optimalisasi penggunaan uang. Isu penting dalam hal ini adalah bagaimana menggunakan waktu tayang atau ruang media secara efisien melalui kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan antara kon-testan dengan pihak media.
3. Mengembangkan konsep kreatif iklan yang meliputi desain pesan, penggunaan talent, visual kunci, suara kunci, dan berbagai aspek kreatif lainnya. Konsep ini didiskusikan secara mendalam sampai dirasa sempurna.
4. Memproduksi iklan dengan beberapa varian
5. Menguji respon para pembaca atau pemirsa terhadap iklan yang telah diproduksi tersebut melalui suatu riset. Tahap ini untuk mengetahui responden mana yang paling mernberikan respon yang diharapkan, dan mendapat masukan mengenai perbaikan konsep kreatif dan eksekusi iklan.
6. Produksi final iklan adalah menyempurnakan hasil produksi sesuai dengan masukan dari hasil uji respon responden
7. Peluncuran iklan dengan sebuah konferensi pers untuk mendapat gaung komunikasi yang luas
8. Menyiarkan iklan
9. Menganalisis dampak iklan yang ditayangkan. Hasil analisis ini memungkinkan untuk meneruskan, mengubah. atau menghentikan konsep iklan.
Iklan politik. khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam political marketing. Nursal (2004: 256) mengutip Riset Falkowski & Cwalian (1999) dan Kaid (1999) menunjukkan, iklan politik berguna untuk beberapa hal berikut:
· Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat
· Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidak-pastian pilihan karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.
· Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.
· Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu
· Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional
· Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik
Untuk mencapai sasaran obyektifnya iklan politik, harus menjawab lima pertanyaan dasar yang diajukan oleh Beaudry dan Schaerier (1986). Pertama, apa pesan tunggal yang paling penting untuk disampaikan kepada para pemilih. Kedua, siapa para pemilih yang dapat dipersuasi untuk memilih anda. Ketiga, metode apa yang paling efektif digunakan agar pesan anda sampai kepada pendukung potensial. Keempat, kapan saat terbaik untuk menyampaikan pesan anda kepada audiens yang dibidik. Kelima, sumberdaya apa yang tersedia untuk menyampaikan pesan kepada audiens yang diinginkan (Nursal, 2004:230)
Gaya iklan yang efektif di Amerika dan Asia berbeda karena adanya perbedaan kultur. Menurut Yukio Nakayama (Cakram, Januari 2002), ada delapan kata kunci agar sebuah iklan dapat menyentuh perhatian khalayak:
1. Emosi. Iklan yang mampu menggugah emosi pemirsanya biasanya akan diterima secara lebih utuh oleh khalayak sasaran. Mereka akan lebih mudah menjadi bagian dari iklan yang disajikan.
2. Empati. Dengan upaya membangun empati dalam iklan, pemirsa akan digerakkan untuk berpihak pada pesan yang akan disampaikan. Hal ini bukan suatu hal yang mudah, diperlukan cara penyampaian pesan yang relevan dan dapat dipercaya.
3. Obsesi. Perlihatkan dalam iklan bahwa obsession, dan semangat untuk meraih sesuatu. Konsumen (para pemilih) akan tergerak untuk meraih hal-hal yang positif dan mengalahkan suatu tantangan.
4. Mimpi. Ini merupakan harapan yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Mimpi seringkali menjadi pendorong semangat untuk mencapai sesuatu. Kita selalu mempunyai harapan dan mimpi yang membuat kita selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
5. Kecerdasan. Konsumen (para pemilih) menghargai kecerdasan yang muncul dari iklan-iklan yang disaksikannya. Pemirsa bukanlah orang-orang yang bodoh, mereka menghargai iklan-iklan yang tampil cerdas dan mampu membuat mereka berseru: aha!
6. Moral. Sisi moral merupakan bagian penting dari kehidupan anak manusia. Kejelian mengolah hal ini membuat sebuah ikian akan terus dikenang.
7. Realitas. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang tak dapat kita tolak, membuat iklan betul-betul scbagai realitas. Suatu hal yang nyata dan terjadi di sekitar kita.
8. Tenderness. Sikap kasih dan pengertian merupakan hal penting yang mampu membuat konsumen ikut bersama pesan yang disampaikan.
Lebih jauh iklan politik juga berfungsi membentuk image kandidat. Iklan sebagai bagian dari marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Menurut Peteraf dan Shanley (1997) image bukan sekadar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau group. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional. Image politik, menurut Herrop (1990), dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Di sini, image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik.
Image politik seperti terlihat dalam produk iklan tidak selalu mencerminkan realitas obyektif. Suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Image politik dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat. Image politik dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Image politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu, image politik dapat memengaruhi pula opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu. Misalnya, katakanlah suatu partai politik memiliki image sebagai partai yang tiradisional, di mana nilai-nilai tradional lokal menjadi tujuan perjuangan. Image tersebut dapat memotivasi aktor-aktor politik dalam partai tersebut untuk selalu mengacu pada hal-hal yang bersifat tradisional. Selain itu, masyarakat awam pun niscaya memposisikan partai tersebut sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-nilai tradisional. Perlu dicatat di sini bahwa ciri tradisional sering dibedakan dengan modern. Ketika suatu partai politik dicap sebagai tradisionalis, otomatis partai tersebut memiliki sistem nilai yang bertolak belakang dengan ide-ide modern.
Linda Kaid (dalam Putra, 2007) lebih lanjut menjelaskan, ada tiga pengaruh iklan televisi terhadap para pemilih, yakni pengetahuan pemilih, persepsi terhadap kontestan, dan preferensi pilihan. Pengaruh pertama ditunjukkan oleh identifikasi nama kontestan atau kandidat yang disebut sebagai brand name recognition. Untuk identifikasi nama, iklan lebih efektif dibandingkan komunikasi melalui pemberitaan, khususnya untuk kandidat atau kontestan baru. Para pemilih juga lebih mudah mengetahui isu-isu spesifik dan posisi kandidat terhadap isu tertentu melalui iklan dibandingkan dengan pemberitaan. Pemilih yang tingkat keterlibatannya sedikit dalam kampanye lebih terpengaruh oleh iklan politik.
Pengaruh kedua adalah efek pada evaluasi kandidat atau kontestan. Iklan televisi memberi dampak signifikan terhadap tingkat kesukaan terhadap kontestan atau kandidat, khususnya terhadap policy serta kualitas kandidat yang meliputi kualitas instrumental, dimensi simbolis. dan feno-tipe optis (karakter verbal dan nonverbal). Dampak tersebut bisa negatif dan bisa pula positif. Tingkat pengaruh tersebut tergantung pada konsep kreatif, eksekusi produksi, dan penempatan iklan tersebut.
Pengaruh ketiga adalah preferensi pilihan. Berbagai stu-di eksperimental menunjukkan, iklan politik mempunyai pengaruh terhadap preferensi pilihan, khususnya bagi pe-milih yang menetapkan pilihan pada saat-saat terakhir. Variabel penting yang mempengaruhi preferensi tersebut adalah formasi citra dan tingkat awareness para pemilih terhadap kontestan. Pemilih yang keteriibatannya dalam dunia politik rendah lebih mudah dipengaruhi oleh iklan politik dibandingkan pemilih yang keteriibatannya lebih tinggi.
Dari sisi sifat pesan, iklan dapat juga digolongkan menjadi iklan positif dan iklan negatif. Iklan positif adalah iklan yang memuat keunggulan dari sebuah kontestan yang dipasarkan Sedangkan iklan negatif adalah iklan tentang kelemahan pesaing. Iklan negatif lebih cepat menarik per-hatian pemilih ketimbang iklan positif. Namun demikian, iklan negatif tidak selalu memberi citra positif kepada pi-hak yang menggunakan. Karena itu, penggunaan iklan negatif harus memperhitungkan risikonya.
Nursal (2004: 234) mengadaptasi Kotler (1995) dan Peter dan Olson (1993), ada beberapa tahap respon pemilih terhadap stimulasi tersebut:
1. Awareness, yakni bila seseorang dapat mengingat atau menyadari bahwa sebuah pihak tertentu merupakan sebuah kontestan Pemilu. Dengan jumlah kontestan Pemi-lu yang banyak, membangun awareness cukup sulit dila-kukan, khususnya bagi partai-partai bam. Seperti sudah menjadi hukum besi political marketing, secara umum para pemilih tidak akan menghabiskan waktu dan ener-ginya untuk menghafal nama-nama kontestan tersebut. Yang terang, seorang pemilih tidak akan memilih kontestan yang tidak memiliki brand awareness.
2. Knowledge, yakni ketika seorang pemilih mengetahui beberapa unsur penting mengenai produk kontestan tersebut, baik substansi maupun presentasi. Unsur-unsur itu akan diinterpretasikan sehingga membentuk makna politis tertentu dalam pikiran pemilih. Dalam pemasaran produk komersial, tahap ini disebut juga sebagai tahap pembentuk brand association dan perceived quality.
3. Liking, yakni tahap di mana seorang pemilin menyukai kontestan tertentu karena satu atau lebih makna politis yang terbentuk di pikirannya sesuai dengan aspirasinya.
4. Preference, tahap di mana pemilih menganggap bahwa satu atau beberapa makna politis yang terbentuk sebagai interpretasi terhadap produk politik sebuah kontestan tidak dapat dihasilkan secara lebih memuaskan olch kontestan lainnya. Dengan demikian, peniilih tersebut memiliki kecenderungan unluk memilih kontestan tersebut.
5. Conviction, pemilih tersebut sampai pada keyakinan untuk memilih kontestan tertentu.
Sedangkan tipe-tipe pemilih dapat dibedakan sebagai berikut (Firmanzah, 2007):
Pemilih Rasional
Pemilih memiliki orientasi tinggi pada “policy-problem-solving” dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya.
Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis.
Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal usul, faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Untuk Indonesia, pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas.
Pemilih Skeptis
Pemilih keempat adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan “platform” dan kebijakan sebuah partai politik.
Kritik terhadap Iklan Politik
Al Ries dan Laura Ries (2002) melalui karyanya yang menyentak kalangan periklanan, The Fall of Advertising and the Rise of PR, menyebut era periklanan tengah berakhir. Iklan gagal menyajikan kredibilitas di hadapan pemirsa dan meningkatkan penjualan produk. Ries dan Ries sendiri bukan antiperiklanan; keduanya meletakkan periklanan sebagai kelanjutan public relations (PR). PR-lah yang membentuk merek (citra), yang selanjutnya diperteguh iklan. Jadi, memercayai iklan untuk meyakinkan pemirsa akan kredibilitas isi tayangannya menjadi pekerjaan sia-sia.
Iklan adalah murni wilayah komersial, siapa pun bisa beriklan asal mampu membayar. Logis jika partai besar dengan sumber dana berlimpah lebih mampu beriklan ketimbang parpol gurem. Ketika beriklan, parpol menjual program dan gagasan, sama dengan perusahaan yang ingin menjual produk. Namun, banyaknya iklan tidak menjamin produk kian laku. Juga dalam kampanye pemilu, membeli iklan di media bukan otomatis membeli suara pemilih. Meningkatnya dukungan suara tidak sepenuhnya disebabkan keberhasilan teknik beriklan, terlebih lagi untuk iklan politik. Preferensi pemirsa tidak secara linier berubah dengan adanya iklan-iklan yang menggunakan teknik atau kreativitas tinggi. Oleh karena itu, logis bila mayoritas pemirsa-pemilih (ada yang menyebut angka 70 persen) sudah menentukan akan memilih siapa dalam pemilu presiden. Fenomena keterisolasian iklan dari preferensi pemilih berlaku tidak hanya di negara yang ikatan primodial dan paternalismenya kuat, tetapi juga ditemui di negara- negara yang memiliki tradisi kuat berdemokrasi.
Iklan dibuat sebagai alat memengaruhi dukungan publik. Namun, karena realitas keterisolasian iklan dengan preferensi pemilih, tujuan ini tidak efektif untuk memperluas dukungan suara. Kecuali, memperteguh pendapat pemilih yang telah mengikatkan emosinya. Jadi, iklan bukan pada posisi untuk memengaruhi, melainkan menguatkan pendirian-pendirian pemilih yang memiliki ikatan tradisional tertentu dengan capres (Putra, 2007).
Maulana (2004) melihat ada modal utama yang bisa disajikan oleh iklan politik yaitu kredibilitas. Karena tidak memiliki kredibilitas, iklan-iklan politik rapuh untuk gagal. Seolah dengan iklan, kredibilitas dapat diraih. Inilah faktor utama yang menyebabkan iklan-iklan politik di televisi tidak mendapatkan hasil efektif. Menurutnya bila dihubungkan dengan keterbukaan informasi, iklan politik kita juga menjadi kurang relevan karena disitu rakyat masih dipersepsikan bodoh. Lambat atau cepat, keterbukaan informasi akan memengaruhi transformasi pola memilih. Rakyat kritis menghilangkan eksistensi iklan sebagai pendulang suara. Alih-alih dipercayai, iklan dipandang sebagai alat manipulasi; motif iklan tersingkap, yakni sebagai penopeng kandidat. Klaim-klaim positif yang disajikan melalui iklan bukannya meneguhkan pilihan rakyat, tetapi membalikkan persepsi yang dikehendaki kandidat. Citra yang dibangun di media pada akhirnya mampu ditangkap sebagai representasi fakta yang bertujuan untuk menguntungkan kandidat. Di sini berlaku penegasian; apa yang disajikan positif dipersepsi dan disimpulkan negatif.
Stanley (2004) misalnya mencontohkan meskipun iklan yang sering ditampilkan pada pemilu 2004 adalah si moncong putih ternyata PDI-P gagal memimpin perolehan suara pada pemilu lalu. Ini menunjukkan walaupun sukses menampilkan iklan hal itu belum tentu berdampak signifikan pada perolehan suara. Orang-orang partai masih dituntut bekerja keras di lapangan untuk memenangkan partai. Iklan politik yang ada saat ini sama sekali tidak ada yang positif. Sama sekali tidak mendidik. Tidak banyak yang menjelaskan komitmen partai terhadap berbagai persoalan yang masih dialami bangsa ini. Iklan-iklan itu hanya mengajak pemilih mencoblos tanda gambar. Tidak memilih nama orang. Wajar kalau orang awam tidak tahu jika ada yang baru dalam pemilu lalu. Lebih jauh Stanley mengkritik kualitas iklan politik kita:
”Iklan politik itu seharusnya lebih banyak berbicara tentang bagaimana audience harus memilih. Visi dan misinya bagaimana dan seperti apa. Iklan politik yang ditampilkan saat ini belum membahas masalah segmentasi. Siapa segmen pemilih dan sebagainya. Ini sebagai akibat iklan politik tidak dapat dimengerti oleh partai politik dan tim kreatif. Teman-teman partai tidak punya gambaran tentang segmen pendukung mereka siapa dan apa yang mau mereka capai dalam kampanye melalui media itu. Semuanya jadi tidak jelas. Mereka bisa saya katakan miskin ide komprehensif. Mereka tidak punya kemampuan membahasakan ide yang seharusnya brillian. Jadi, yang keluar ya yang enteng-enteng saja. Parahnya, teman-teman di tim kreatif–yang sebenarnya memiliki kemampuan menciptakan produk iklan yang baik–tidak mengetahui apa keinginan partai. Yang ada akhirnya sekadar saling percaya. Pokoknya percaya bahwa tim kreatif mampu membuat iklan PDI-P yang pas. Akibatnya, ya muncullah iklan si moncong putih.”
Belakangan ini pakar politik menemukan kenyataan bahwa opini publik dibentuk oleh mood, emosi dan perasaan individu. Berangkat dari kenyataan maka iklan-iklan politik belakangan ini umumnya lebih mengeksploirasi faktor emosi ketimbang menjual isu-isu atau kebijakan-kebijakan kandidat. Fenomena iklan dalam kampanye Pilkada seharusnya memberikan ruang terbuka bagi pemilih untuk belajar menjadi pemilih yang cerdas. Namun sayang sekali iklan politik belum mengajak warga untuk berpikir cerdas (Putra, 2007).
Sedangkan dengan sinis Hikmat Budiman (Koran Tempo, 27 Maret 2004) mengatakan Iklan komersial memang tidak pernah dirancang untuk memaparkan kebenaran seperti para pendidik, melainkan justru melakukan surogat, mengelabui massanya dengan memutarbalikkan realitas seperti yang biasa dilakukan para ideolog tempo dulu. Iklan pencuci rambut, misalnya, menciptakan kenyataan palsu tentang begitu memalukannya kalau ada kelemumur pada rambut. Tapi sejauh ini tidak pernah ada somasi dengan tuduhan, misalnya, “tidak memberi pendidikan kultural” kepada publik.
Mengukur Kekuatan
Dengan melihat pembahasan diatas kita melihat bahwa iklan politik memiliki kekuatan dan kelemahan. Terutama mengenai efektivitasnya dalam menjangkau pemilih. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai efektivitas iklan politik guna memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin. Roderick Hart, profesor ilmu politik Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian cukup yang bisa memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para calon presiden. Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat, betapa pun kuatnya pengaruh iklan di televisi, efektivitas iklan politik belum terjamin seperti halnya iklan sabun atau produk lainnya. Banyak kajian menunjukkan swing voters, pemilih berpindah dukungan karena dipengaruhi iklan politik, kampanye, penampilan kandidat, atau program partai, persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing voters hanya 15 persen dari total pemilih. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran utama iklan politik karena sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki party identification. Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh oleh kampanye atau iklan politik.
Kenneth Goldstein, ahli ilmu politik Universitas Wiscounsin mengatakan, iklan politik bisa mempengaruhi, terutama dalam pemilihan antara dua calon presiden yang memiliki kualitas dan kemampuan hampir sama. Di negara maju, partai politik yang bersaing dalam pemilu memiliki massa fanatik sendiri yang disebut true believers sehingga suara swing voters yang kecil akan sangat menentukan kemenangan (Yulianti, 2004).
Dengan demikian jelas bahwa iklan politik memang seharusnya tidak dijadikan sebagai alat utama dalam kampanye kandidat, namun hanya sebagai alat penunjang. Kita tahu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih akan ditentukan paling tidak oleh kondisi awal pemilih (lihat tipologi pemilih hal. 9), media masa (iklan dan berita) serta partai politik atau kontestan. Bisa jadi faktor keluarga dimana individu hidup didalamnya akan lebih kuat sehingga sangat menentukan pilihan-pilihan politik. Atau kualitas pendidikan dalam masyarakat sangat tinggi, sehingga mereka tidak begitu saja percaya dengan pemberitaan atau iklan.
Dalam konteks komunikasi pemasaran, supaya efektif iklan politik juga harus diletakkan dalam konteks integrated communication. Artinya harus juga didukung oleh alat komunikasi lainnya dan yang lebih penting adalah kredibilitas kandidat atau partai politik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Nursal. 2004. Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Afdal Makkuraga Putra. Emosionalitas dan Negativity dalam Iklan Politik Pilkada, Jurnal Media Watch, 31 Agustus 2007
Al Ries dan Laura Ries. 2002. The Fall of Advertising and the Rise of PR. New York: Harper Collins Publishers
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Hikmat Budiman. Iklan Partai Politik dan Konservatisme. Koran Tempo, 27 Maret 2004
Sudiana. 1986. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Remadja Kary
Stanley Adi Prasetyo. Kita Takut pada Kampanye Negatif. Suara Merdeka, 30 Mei 2004
T. Yulianti, Iklan Politik di Televisi, Kompas, 15 Maret 2004
___________. Iklan Politik Bisa Menjebak, Kompas, 22 Mei 2008
Yusuf Maulana. Kredibilitas Iklan Politik di Televisi, Kompas, 26 Juni 2004