Kampanye, Untuk Siapa?
Sebuah pertanyaan menggelitik di awal kampanye ini, apakah kampanye yang sering dianggap sebagai fase penting dalam Pemilu-serta memakan dana sangat besar-akan mempunyai hasil yang signifikan untuk mengubah keputusan calon pemilih? Apakah dengan Caleg atau Parpol memberikan selembar kaus dan memajang atribut partai kemudian akan bisa membuat rakyat mengubah pilihan mereka?
Bukankah rakyat pemilih kita sudah dikenal sebagai pemilih yang pilihan politiknya telah terbagi berdasar politik aliran, emosional dan sulit diubah. Buktinya, dari Pemilu ke Pemilu, komposisi pendukung Parpol berdasarkan aliran tidak banyak berubah. Partai boleh berganti-ganti tetapi ideologi (sebenarnya bukan ideologi dalam arti sebenarnya) tetap sama sehingga pemilihnya pun hampir tidak berubah.
Lalu, jika demikian, kenapa semua Parpol masih saja menjadikan kampanye sebagai sesuatu yang sangat penting bahkan sampai melakukan curi start, untuk apa?
Dalam catatan sejarah kampanye memang sudah sama tuanya dengan sejarah Pemilu. Barangkali kita tidak pernah terlintas untuk mengukur apakah kampanye yang dilakukan selama ini efektif ataukah tidak. Kampanye seolah telah menjadi conditio sine qua non dari Pemilu. Tak peduli kampanye itu berpengaruh ataukah tidak pada hasil Pemilu. Apalagi menjawab pertanyaan, berpengaruh ataukah tidak pada masa depan kehidupan rakyat. Apakah rakyat mengerti yang disampaikan lewat kampanye, ataukah justru kampanye telah menjadi entitas yang terpisah untuk memenuhi egonya sendiri yang identik dengan mengumbar dana besar, pengerahan massa, hura-hura, yang ujungnya untuk kekuasaan.
Menurut UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum, kampanye dapat dilakukan dalam beberapa bentuk dan bermacam-macam cara. Hal ini tentu akan dimanfaatkan Parpol dan Caleg untuk bersaing dan berusaha semaksimal mungkin dengan dana yang maksimal juga untuk menyiapkan model kampanye. Sehingga pertarungan dalam kampanye boleh jadi akan lebih seru ketimbang Pemilunya sendiri. Namun, UU juga mengatur bahwa kampanye hanya dapat dilakukan pada kurun waktu tertentu kurang lebih tiga pekan (11 Maret sampai 1 April 2004) saja. Berkampanye di luar jadwal itu dapat dituntut sebagai tindak pidana.
Karena waktunya yang singkat dengan 24 Parpol yang ada, maka KPU mengatur jadwal, kampanye masing-masing Parpol akan dilaksanakan bergantian. Maka, semakin sedikitlah kesempatan partai-partai ini untuk berkampanye. Bagi Parpol, kesempatan kampanye seperti itu dirasakan sangat kurang. Terlebih untuk partai-partai baru yang namanya belum dikenal masyarakat. Maka tak heran bila banyak ditemukan pelanggaran kampanye oleh Parpol maupun Calegnya. Seperti seringkali terjadi, misalnya kasus curi start kampanye. Pada masa kampanye tiga pekan itulah akan terlihat betapa Parpol sangat antusias berkampanye. Antusiasme ini bisa berarti positif, tapi juga bisa berarti negatif. Sebab, yang terkesan selama ini, Parpol (kecuali Parpol baru) kurang dekat dengan rakyatnya dan berusaha menebusnya pada masa tiga pekan kampanye ini.
Paradigma lama
Dalam jagat politik Indonesia, rakyat hanya hadir lima tahun sekali dalam masa Pemilu. Sedangkan kampanye identik dengan pengerahan massa, ideologis-emosional. Parpol telah terjebak pada pemahaman bahwa kampanye berarti pengerahan massa, berseragam kaus yang sama, bendera, konvoi dsb. Berdasarkan pengalaman, dengan kampanye itu justru lebih banyak efek negatifnya ketimbang positifnya. Ancaman kerawanan dan konflik sosial senantiasa menghantui masa kampanye.
Parahnya, untuk merebut kesempatan seperti itu Parpol telah menghabiskan dana miliaran rupiah yang terdiversifikasi pada berbagai bentuk aktivitas dan atribut kampanye. Di tengah banyaknya musibah bencana alam dan kemiskinan yang mendera sebagian besar rakyat, tentu ini sebuah ketimpangan. Parpol, dengan kampanye telah membius rakyat sehingga seolah kampanye menjadi kebutuhan rakyat. Seolah kampanye dan Pemilu itu saatnya rakyat berpesta. Parpol menghipnotis rakyat untuk seolah lupa dengan persoalan kesulitan ekonomi dan sosial yang menghimpit untuk merayakan pesta-yang dicitrakan-sebagai pesta rakyat, padahal sesungguhnya pesta politik elite yang sebentar lagi akan menangguk kekuasaan. Kekuasaan yang seringkali justru menindas dan penipu rakyat.
Pada frame berpikir semacam inilah, maka layak dipertanyakan kembali, sebenarnya untuk siapa (manfaat) kampanye yang menghabiskan dana dan energi begitu besar itu? Apakah dengan kampanye itu memberikan ruang bagi rakyat untuk didengar dan dapat melakukan kontrak sosial dengan Caleg atau Parpolnya, ataukah hanya sarana show of force demi memuaskan libido kekuasaan segelintir elite Parpol saja.
Tidak berpikirkah para pemimpin Parpol bahwa rakyat tidak bodoh untuk melacurkan suara nurani mereka hanya demi selembar kaus, beberapa lembar ribuan atau janji-janji yang sudah basi? Apakah dengan kampanye itu lantas menjamin pula kantong suara akan penuh? Apakah dengan iklan supergencar akan otomatis suara rakyat mengalir lancar?
Maka, saatnya untuk berpikir ulang, patutkah kampanye yang seperti ini, yang identik mengobral dana besar untuk tujuan egoistis seperti sekadar menarik simpati, dukungan atau bujuk-rayuan untuk memilih elite, yang tentu sama sekali tak menyentuh wilayah konkret perbaikan nasib rakyat. Bukankah ini lebih tepat disebut pembodohan?
Parpol dan elite politik mestinya peka untuk mengubah paradigma berpikir dalam kampanye. Mereka seharusnya menggagas model kampanye yang inovatif, hemat biaya dan lebih bermanfaat bagi perbaikan nasib rakyat. Bukan kampanye yang mengukuhkan egoisme Parpol karena menjadikan kampanye sebagai alat sekaligus memperalat rakyat untuk mengeruk keuntungan elite semata. Mereka ingin didengar, dilihat, didukung, dipilih. Karena itu mereka seolah menempatkan rakyat pada posisi terhormat tapi sebenarnya menempatkan rakyat sebagai obyek yang mudah lupa dan terbujuk.
Parpol yang mestinya menjadi garda depan perubahan dalam meningkatkan kualitas demokrasi dengan memberikan penyadaran kepada pemilih untuk menjadi pemilih yang rasional ternyata sebaliknya, malah menikmati keuntungan dalam apatisme rakyat dengan misalnya membuat aturan-aturan yang membodohi rakyat. Contoh, aturan yang disebarkan Parpol bahwa pencoblosan kartu suara yang dianggap sah apabila mencoblos gambar partai saja tanpa mencoblos nama Caleg, sementara bila mencoblos Caleg saja tanpa gambar Parpol justru tidak sah. Itu kelihatan sekali bahwa Parpol dan elitenya ambisius untuk berkuasa, meski dengan membodohi rakyat.